Selama ini, keluhan tentang suramnya majalah dinding di sekolah semakin banyak. Banyak guru-guru yang berharap agar ada seseorang atau kelompok yang mengurus dan menjadikan mading hidup kembali. Jika guru punya pendapat “mading adalah sebuah lembaga media yang harus dilestarikan”, maka para siswa justru sebaliknya “mading adalah sebuah hal yang membuang waktu saja”. Maka makin tumbuh suburlah sarang laba-laba di mading kita tersebut, karna tak ada satupun orang yang berniat menjamahnya.
Beberapa waktu yang lalu, kita mendengar bahwa tim SMAN 4 Pekanbaru memenangkan perlombaan mading matematika di UNRI. Dari hal tersebut tentu dapat kita simpulkan bahwa kreatifitas dan pengetahuan siswa akan mading sebenarnya cukup bagus. Namun, ada apa dengan mading ku? Mading kita sendiri! Di dalam sekolah ini! Kenapa warnanya hitam-putih seperti ini? Padahal siswa dapat membuat mading warna-warni di luar sekolah. Apakah siswa lebih mementingkan mading luar dari pada mading dalam? Perlu kesadaran yang lebih akan hal ini. Tak perlu banyak omong atau hanya rencana-rencana indah. Buat apa rencana jika tidak ada tindakan yang pasti? Itu sama saja bullshit!
Mading ku bagai “hidup segan mati tak mau”, tak ada satu pun yang berniat membacanya jika warnanya saja hitam-putih. Diibaratkan televisi, orang-orang akan lebih tertarik melihat televisi warna dari pada televisi hitam-putih. Bahkan ada beberapa kelompok yang menjadikan televisi hitam putih hanya sebagai barang rongsokan saja. Jika begitu keadaannya, berarti madingku ini barang rongsokan! Tragis. Sebegitu banyak warga di sekolah ini, tapi tak ada satupun yang memperhatikan madingku ini.
Pernah kah kamu melihat mading orang lain? Mereka lebih mementingkan barang dalam dari pada barang luar. Namun lain dengan kita, kita lebih mementingkan barang luar dari pada barang dalam. Oh, madingku, mengapa nasib mu seperti ini kawan? Seharusnya kamu bisa berwarna jika mereka mau menjamahmu.
Semua ada jalan keluarnya. Jika kita memang berniat, tak ada yang mustahil. Bukankah lebih indah memandang yang berwarna? Disaat semua orang sudah mulai mempunyai hal yang berwarna, kita masih saja sibuk dengan hal hitam-putih. Ayo, siapa pun yang peduli dengan madingku ini, kita rawat dia menjadi berwarna. Timbulkan indahnya dengan cara kita sendiri, hingga akhirnya madingku ini tak lagi hitam-putih.
Anissa Florence Oktina Pardede
Beberapa waktu yang lalu, kita mendengar bahwa tim SMAN 4 Pekanbaru memenangkan perlombaan mading matematika di UNRI. Dari hal tersebut tentu dapat kita simpulkan bahwa kreatifitas dan pengetahuan siswa akan mading sebenarnya cukup bagus. Namun, ada apa dengan mading ku? Mading kita sendiri! Di dalam sekolah ini! Kenapa warnanya hitam-putih seperti ini? Padahal siswa dapat membuat mading warna-warni di luar sekolah. Apakah siswa lebih mementingkan mading luar dari pada mading dalam? Perlu kesadaran yang lebih akan hal ini. Tak perlu banyak omong atau hanya rencana-rencana indah. Buat apa rencana jika tidak ada tindakan yang pasti? Itu sama saja bullshit!
Mading ku bagai “hidup segan mati tak mau”, tak ada satu pun yang berniat membacanya jika warnanya saja hitam-putih. Diibaratkan televisi, orang-orang akan lebih tertarik melihat televisi warna dari pada televisi hitam-putih. Bahkan ada beberapa kelompok yang menjadikan televisi hitam putih hanya sebagai barang rongsokan saja. Jika begitu keadaannya, berarti madingku ini barang rongsokan! Tragis. Sebegitu banyak warga di sekolah ini, tapi tak ada satupun yang memperhatikan madingku ini.
Pernah kah kamu melihat mading orang lain? Mereka lebih mementingkan barang dalam dari pada barang luar. Namun lain dengan kita, kita lebih mementingkan barang luar dari pada barang dalam. Oh, madingku, mengapa nasib mu seperti ini kawan? Seharusnya kamu bisa berwarna jika mereka mau menjamahmu.
Semua ada jalan keluarnya. Jika kita memang berniat, tak ada yang mustahil. Bukankah lebih indah memandang yang berwarna? Disaat semua orang sudah mulai mempunyai hal yang berwarna, kita masih saja sibuk dengan hal hitam-putih. Ayo, siapa pun yang peduli dengan madingku ini, kita rawat dia menjadi berwarna. Timbulkan indahnya dengan cara kita sendiri, hingga akhirnya madingku ini tak lagi hitam-putih.
Anissa Florence Oktina Pardede