Dia meringkuk dalam selimutnya, bergelung selayaknya janin dalam kandungan. Kedua tangan dan kakinya dilipat hingga saling menyentuh satu sama lain. Mencari cara untuk tetap hangat. Di luar hujan, jam dinding pun sudah menunjukkan angka setengah dua pagi. Dan dia tak juga tertidur, memejamkan mata pun rasanya enggan. Mungkin ini efek segelas cappucino manis sore tadi, pikirnya mencari alasan. Berkali-kali ditatapnya ponsel, mengira kali saja bergetar atau mengedipkan cahaya. Sebenarnya dia menunggu, ada yang ditunggunya sejak kemarin. Namun batinnya belum puas sebab yang ditunggu tak juga datang. Jarum jam kini bergerak ke angka dua, tetap tidak ada tanda-tanda. Lalu diputuskannya untuk meminum segelas cappucino manis lagi besok.
Di dunia ada begitu banyak macam karakter perempuan.
Ada yang cuek. Nasehat maupun kritik tak pernah dihiraukannya. Tidak pernah menyapa jika tidak disapa terlebih dahulu, jarang tertawa, serta kurang memperhatikan sekitar. Baginya hidup adalah tentang dirinya sendiri, bukan tentang orang lain.
Ada yang terlalu sulit menentukan keputusan. Pun keputusan demi kebahagiaannya sendiri. Sering bertanya saran pada orang lain, namun selalu memutuskan hal yang menurutnya benar. Sering bertanya dengan pertanyaan yang itu-itu saja. Hidupnya selalu dipersimpangan, antara ingin bahagia atau membahagiakan orang lain.
Ada yang sangat pemilih. Entah apa yang sedang dicarinya. Seakan tidak puas dan tidak akan pernah puas. Selalu berjalan jauh-jauh tapi selalu kembali dengan tangan kosong.
Ada yang mandiri. Bergaya seakan mampu hidup sendiri, berjalan tanpa membiarkan seorang pun tuk menggenggam tangannya. Baginya hidup sendiri sudah cukup baik. Pemikirannya cerdas dan cenderung giat meningkatkan kualitas hidup.
Ada yang ramah. Berteman dengan berbagai kalangan dengan karakter bermacam-macam. Perempuan yang mudah bergaul dan menciptakan tawa. Namun terlalu ramah pun bukanlah suatu pertanda baik untuk seorang perempuan.
Lebih sering menemukan perempuan manja. Mereka ada dimana-mana. Tipe perempuan yang tidak bisa mengerjakan hal-hal mudah sekalipun, atau mungkin cenderung malas dan tidak mau belajar menyelesaikan perkara. Sedikit-sedikit mengeluh, tak jarang membuat orang disekitarnya muak.
Bermacam-macam karakter dengan latar belakang yang berbeda, namun perempuan tetaplah perempuan. Mereka suka berdandan, suka belanja dan suka melakukan hal-hal keperempuanan lainnya. Mahluk yang mudah melupakan namun tidak akan pernah bisa memaafkan. Perempuan yang menyembunyikan perkara di balik kalimat bermakna tersurat.
In
FIKSI,
Mada Mulawarman
"Maaf, aku merindukan mu."
Namanya Mada.
Pesan singkat itu dikirim olehnya, setengah jam yang lalu. Empat kata yang tertulis dilayar handphone ku saat ini adalah kata-kata pertama yang dia ucapkan setelah dua tahun tanpa kabar berita. Tanpa sapa, pun juga tawa. Dia hilang, seperti ditelan pusat bumi.
Namanya Mada Mulawarman.
Umurnya 26 tahun pada tanggal 13 Agustus, seminggu lagi dari hari ini. Zodiaknya Leo, Shionya Ular. Lahir di hari Minggu, sama sepertiku. Ibunya adalah seorang penggemar sejati kisah sejarah kerajaan hindu-budha. Sehingga namanya pun diadaptasi nama-nama tokoh pada zaman itu, Mada dan Mulawarman.
Pada tanggal 6 Juli sekitar 5 tahun yang lalu kami tidak sengaja bertemu. Pertemuan yang semula ku pikir hanya ada di novel-novel teenlit favoritku. Saat itu seorang sahabat terbaik ku merayakan hari kelulusannya, namanya Firman. Yang ku ingat, di tanggal 6 Juli itu cuaca sangat panas. Begitu banyak manusia menggunakan toga, sehingga sangat sulit menemukan Firman. Hingga akhirnya aku menemukan dua orang laki-laki tinggi berdiri dengan toganya disalah satu papan bunga untuk berfoto. Dia adalah Firman dan tentu saja Mada. Aku mencintainya di detik pertama, aku jatuh pada senyumnya di pandangan pertama. Sampai sekarang takkan ku ingkari hal itu, pun juga pada Firman.
Namanya Mada.
Dia berkata mencintaiku setelah enam bulan kami berkenalan. Dia memegang tanganku, menghela napas panjang dan berkata pelan bahwa takkan melepaskan ku. Mada tidak menunggu jawaban ku, yang dilakukannya hanya mencium keningku lama. Sejenak aku percaya bahwa Madalah yang aku cari selama ini.
Dialah Mada, seorang laki-laki sarjana Tehnik Arsitektur dengan Indeks Prestasi 3,87. Laki-laki yang mencuri hatiku di detik pertama. Laki-laki penyuka kwetiaw goreng di Warung Kak Yuli dan tak pernah memesan minum selain air mineral dalam kemasan. Laki-laki yang pernah memelukku saat hujan deras. Seseorang yang namanya tersemat di prakarta proposal skripsiku. Serta yang tangannya ku gandeng di hari kelulusan ku. Yang menyanyikan lagu dengan gitarnya di ulang tahun ke-dua-puluh-ku. Dia adalah Mada, Mada-nya Karaa.
"Karaa sayang, bisakah membantu ku memasang dasi? Kenapa sulit sekali membuatnya terlihat rapi seperti yang kamu lakukan." Suara berat membuyarkan semua lamunan ku. Aku meletakkan handphone cepat-cepat ke tempat tidur, lalu menoleh kearah sumber suara.
"Nanti pulang jam berapa kamu, Mas?" tanyaku selagi memasangkan dasi polos biru dongker ke lehernya. "Nanti sore kita ada acara di rumah Eyang Putri, ingat kan?"
"Ehm, iya. Ingat. Jam 7 kan? Dan jangan lupa membeli beberapa buah dan kue untuk Eyang. Iya kan, sayang?"
"Awas kalau sampai lupa." ancamku sambil mencubit pinggangnya pelan. Laki-laki itu hanya tertawa lalu secepat kilat mencium keningku. "Mas.." aku memanggilnya pelan sesaat dia akan melangkah keluar.
"Iya, Karaa?"
"Aku mencintaimu."
"I know." ujarnya tersenyum, menenangkan.
Namanya Firman.
In
cerpen,
FIKSI
Tertangkap
Setelah jam menunjukkan angka tujuh malam, aku pasti ketakutan. Suara-suara aneh dari lantai bawah rumahku selalu terdengar di jam tujuh malam. Suara berisik yang sampai sekarang tidak ku tahu bersumber dari mana. Anehnya, suara-suara itu akan hilang ketika jarum jam sudah menunjuk angka sepuluh lewat lima belas menit. Hanya sekitar tiga jam lima belas menit saja, tapi begitu sangat membuatku takut.
Namaku Sawi. Aku tidak tahu kenapa orangtua ku memberikan nama sayuran kepadaku. Mungkin karna aku suka sayur sawi atau orangtua ku yang suka. Aku tidak pernah bisa menanyakannya langsung, sebab tidak pernah bertemu langsung dengan mereka. Entah mereka sudah meninggal ataupun belum aku juga tidak tahu. Para tetangga mengatakan bahwa mereka sedang bepergian, sehingga meninggalkan ku dirumah sebesar ini tanpa seorang pun yang menemani. Itupun aku tahu namaku sendiri dari nenek tua yang tinggal di ujung belokan gang. Sawi, panggilnya waktu itu.
Awalnya aku tidak terlalu suka dengan namaku, namun lama kelamaan aku mulai menyukainya. Menurutku nama ini adalah sebuah ciri khas, karna cuma aku satu-satunya yang mempunyai nama Sawi. Lagipula, Sawi tidaklah sayur yang buruk. Walaupun rasanya sedikit pahit, tapi manfaat yang diciptakan Sawi cukup banyak. Begitulah kira-kira aku menafsirkan kepribadianku, seperti sayur sawi.
Suara berisik dari lantai bawah semakin kuat, seolah menyuruhku turun untuk melihat dan menemukan sendiri jawabannya. Selama ini aku memang selalu bertanya-tanya, ada apa di lantai bawah. Kegaduhan itu ku dengar selama hampir dua tahun, dan selama itu juga aku tidak punya keberanian untuk mencari tahu apa yang terjadi. Kini suara-suara tersebut membuatku tak tahan lagi. Aku harus tahu apa itu dan mengapa suara tersebut menggangguku. Walaupun hanya terdengar sekitar tiga jam lima belas menit, itu sungguh sangat mengganggu.
Pelan-pelan ku jejakkan kaki menuruni tangga-tangga kayu, sedikit berjingkat pelan agar tidak menimbulkan suara. Aku tidak ingin suara-suara di lantai bawah menyadari ada suara lain selain suara mereka. Lampu lantai bawah terang benderang, padahal sebelumnya ruang itu sudah ku pastikan gelap setiap jam enam sore. Dan sekarang terang, juga berisik. Memang ada yang tidak beres, pikirku. Mungkinkah maling yang ingin merampok rumah ini? Kalaupun iya, dasar maling bodoh. Rumah ini tidaklah menyimpan harta berharga, hanya aku dengan beberapa perabot serta bingkai-bingkai tergantung di dinding. Pun jika ingin menculikku dan meminta uang tebusan, hanya sia-sia saja. Aku tidak memiliki keluarga kaya yang akan memberikan uang mereka untuk menukarnya dengan keselamatanku. Hari ini, sekarang, aku akan menemukan jawaban atas gulungan pertanyaan yang ku simpan selama dua tahun. Aku pasti tahu apa yang terjadi, dan segera menangkap si sumber suara.
Aku melompat kecil melewati sebuah tangga yang sudah rusak. Rumah besar ini memang sudah tua. Terdapat kayu rusak dan lantai bolong disana-sini. Jika tidak berhati-hati, bisa-bisa aku jatuh dan akan sulit untuk keluar dari lubang-lubang gelap itu. Kini suara mulai terdengar dekat, itu artinya langkahku tidak jauh lagi. Sorot lampu menyilaukan mata, membutakan pandanganku. Sejujurnya aku tidak terlalu suka dengan terang. Aku lebih nyaman berdiam ditempat remang, menyembunyikan kulit hitam ku dari pandangan orang-orang.
Aku mengerjap kelopak mata beberapa kali untuk mengembalikan penglihatanku. Terlihat seorang nenek tua ujung belokan gang sedang berbicara dengan seorang anak kecil. Aku tak dapat mendengar pembicaraan mereka dengan jelas, namun beberapa kata dapat ku tangkap.
"Panen lagi, Nek? Dapat berapa kita hari ini?" tanya anak kecil itu. Ku pikir umurnya sekitar delapan tahunan.
"Iya, cu. Besok bantu nenek jualan dipasar ya." Si nenek ujung belokan gang tersenyum sambil membelai kepala anak kecil itu.
"Pokoknya kali ini kita jangan kecolongan si Sawi lagi, Nek. Dia pencuri!"
Aku tercekat. Mengapa mereka menyebut namaku? Ada apa? Seharusnya yang disebut pencuri itu mereka, masuk rumah orang tanpa izin, geram ku kesal. Ternyata hentakan dan geraman kesalku terlalu mencolok sehingga membuat nenek dan anak kecil menoleh kearah ku. Huh, biar saja mereka tahu aku disini, mereka berdua akan ku tangkap dan ku serahkan pada satpam komplek, geram ku lagi.
Tak ku sangka, si anak berlari kearah pintu dan mengambil sebuah sapu panjang. Menggenggam kuat lalu mengacungkannya dengan berani kepadaku.
"Sawi! Mau berapa kilo lagi kau curi sayur sawi kami. Kesini kau, sialan." teriak anak itu kepadaku.
Seketika keberanianku luntur oleh teriakan anak itu. Sedari awal, memang ada yang tidak beres disini. Seharusnya aku tidak turun kebawah. Seharusnya aku tinggal saja diatas, menunggu sampai jam sepuluh lewat lima belas menit, menghindari sorotan lampu dan berusaha untuk tidak ingin tahu segala hal.
"Sawi, tikus pencuri sayur sawi! Kemari kau." teriak anak itu lagi.
"Percayalah, Yu. Setiap orang mempunyai giliran dan waktunya sendiri untuk bahagia."
Dian, gadis itu berkata tanpa menatap muka lawan bicaranya. Sedari tadi dia sibuk memberi arahan pada dua orang laki-laki berpenampilan maskulin yang sedang berada dibelakang dan didepannya. Yang berbaju hijau stabilo sedang menyemprotkan hair spray ke rambutnya dan satunya lagi fokus melukis wajahnya. "Non, jangan ketebelen ya. Natural aja, you know me lah baby." Ujar gadis itu lagi. Ryan si make-up artist hari itu, atau yang biasa dipanggil Non Ryan mengacungkan jari jempolnya memberi tanda 'oke'.
"Eh, tapi Yu. Selama delapan tahun kita sahabatan, kau ga pernah nunjukin itu cewek didepan wajah aku deh." Dian menatap lawan bicaranya melalui cermin meja rias.
"Hem.... yah gimana mau ngenalin kalau aku sama dianya ga punya status apa-apa." Wahyu menghela napas panjang. Laki-laki itu bangkit dari tempat duduknya, membenarkan jas biru dongkernya lalu berjalan kearah Dian. "Lagian.... seperti katamu, setiap orang punya giliran dan waktu sendiri untuk bahagia. Aku percaya."
"Alah alah, perkataan mu tidak pernah bisa dipercaya Wahyu." Dian tertawa. "Kau itu ganteng, Yu. Punya pekerjaan yang bagus, keluargamu juga bukan keluarga sembarangan, hatimu baik, penyayang dan pengertian pula lagi. Dan yang paling penting, kau tipe lelaki yang royal kalau soal duit. Mana ada perempuan jaman sekarang yang bisa menolak pesona seorang Wahyu Handriatmadjaja? Hanya perempuan bodoh yang tidak dapat melihat harta karun sepertimu."
"Diana, kau selalu memujiku seperti itu. Tapi kenyataannya tidak seperti itu, Dian." Wahyu tertawa, siluet tubuh laki-laki itu ketika tertawa dan tersenyum seperti gravitasi. Terbukti dari curi-curi pandang hair styler dan make-up artist Dian. Bahkan seorang laki-laki saja bisa jatuh cinta dengan Wahyu, apalagi perempuan?
"Itu memang kenyataan yang tidak pernah mau kau akui, Yu. Iya gak, Non?" Dian yang sedari tadi menyadari Non Ryan mencuri pandang pada Wahyu, meminta pendapat padanya. "Entahlah Non, aku punya sahabat keren dan ganteng seperti ini tapi masih single sampai sekarang. Susah move on nye Non, heran."
Ryan hanya tersenyum membenarkan perkataan Dian, sedangkan Wahyu mulai tidak nyaman dengan tatapan dua orang laki-laki penyuka sesama jenis tersebut. Dia memberi kode kepada Dian untuk tidak memperpanjang urusan itu lagi, lebih tepatnya Wahyu tidak ingin dianggap menjadi salah satu anggota yang mestinya bergabung dengan perkumpulan penyuka laki-laki ganteng.
Seseorang mengetuk pintu, tanpa menunggu jawaban diperbolehkan masuk atau tidak si pengetuk pintu sudah memunculkan batang hidungnya. Seorang laki-laki dengan tuxedo bronze tanpa dasi melemparkan senyum pada Diana.
"Ngapain kesini sih? Pamali tau liat-liat aku dandan." Diana menggerutu, mulutnya dimajukan kedepan beberapa senti.
"Dasi aku ketinggalan, cerewet. Kamu masih lama ya? Dibelahan dunia manapun perempuan sama aja ya, lama dandan." Laki-laki itu berjalan cepat kearah lemari putih disudut ruangan, membukanya lalu menarik sebuah dasi polos berwarna silver.
"Hem... perempuan yang mana lagi Jo? Yang mana?" tanya Dian curiga, perempuan itu menaikan sebelah alisnya dan menatap lawan bicaranya melalui cermin meja rias.
Si lawan bicara tertawa, "You are the only one, Diana." Ujarnya sambil mencium pipi Dian secepat kilat. "Bro, kita kedepan aja deh. Bakalan lama kalau nunggu ratu elisabeth ini dandan. Entar, aku kenalin sama teman aku deh, biar cepat nyusulin aku dan Dian." Jo menyenggol pundak Wahyu pelan.
Belum sempat Wahyu menjawab, Dian sudah memotongnya "Jonathan, jangan ganggu aku dan Wahyu. Banyak hal yang harus kami bicarakan, sebab setelah kita menikah bakal sulit ngobrol banyak sama pangeran inggris yang satu ini."
Jo mengangkat pundaknya, menandakan dia menyerah dan enggan melakukan perdebatan dengan Dian "Okay, baiklah ratu. Kalau begitu hamba mohon diri." Ujar laki-laki itu sambil membungkuk selayaknya seorang pelayan minta izin pada ratunya. Orang-orang yang berada diruangan itu tertawa kecil melihat sikap konyol Jonathan, beberapa orang bahkan sudah mulai berpendapat betapa serasinya Jonathan dan Diana.
"Kau ingat gak, Yu? Enam tahun yang lalu setelah aku dicampakkan begitu saja oleh Oscar. Kau tau betapa hancurnya aku kan?" Dian melanjutkan pembicaraannya lagi dengan Wahyu setelah memastikan Jonathan benar-benar pergi.
"Hem, ya, saat-saat dimana aku tidak bisa lupa." ujar Wahyu pelan.
"Dan lihat sekarang, kau tahu kan betapa aku sangat bahagia hari ini? Memiliki seseorang seperti Jonathan tidak pernah sedikitpun masuk dalam rencanaku."
"Terlihat jelas, Dian." suara Wahyu hampir tidak kedengaran.
"Percayalah, Yu. Setiap orang mempunyai giliran dan waktunya sendiri untuk bahagia." Senyum Dian merekah, perempuan itu memang benar terlihat sangat bahagia sekarang. Sampai-sampai dia tidak dapat melihat dengan jelas gulungan air tertahan dipelupuk mata Wahyu.
"Kita tak pernah kalah karena mencintai seseorang. Kita selalu kalah karena tidak berterus terang." - Chicken Soup For The Teenage Soul
Sudah menjadi rahasia umum kalau aku adalah salah satu penggemar drama-drama asia. Entah itu drama thailand, china, jepang, maupun korea, aku suka semuanya. Intinya sih aku suka nonton, terlebih-lebih jika genre filmnya adalah romance - comedy. Sesibuk apapun, bakal aku sempatin buat nonton drama kalau emang udah pengen banget nonton. Bahkan sekitar semester empat masa kuliah, aku pernah nonton drama taiwan di H-1 ujian blok. Pokoknya bodoh amat deh, yang penting nonton.
Jadi, di masa libur kayak gini aku manfaatin buat nonton drama korea sebanyak-banyaknya buat ngisi waktu luang. Ada salah satu judul drama korea di vikidrama yang sudah aku perhatikan sejak akhir tahun 2014 kemaren. Cuma ya saat itu masih belum menarik perhatianku, selain subtitlenya yang belum lengkap ternyata episodenya juga incomplete. Baru-baru ini lagi tertarik dengan seorang aktor korea yang ganteng (menurut aku), namanya Ji Chang Wook. Suka sama dia karna main drama Empress Ki walaupun aku ga nonton semuanya akibat episodenya yang terlalu panjang. Dan baru aku tahu ternyata Ji Chang Wook memainkan peran di drama terbarunya "Healer" yang tak lain adalah drama yang tidak menarik perhatianku akhir tahun 2014. Iseng-iseng intip vikidrama, eh rupanya episode dan subtitle Healer udah complete. Langsung deh aku streaming mumpung rumah pakai wifi, sampai-sampai aku ga nonton Abad Kejayaan dan Jodha Akbar selama dua hari buat nonton abang Ji Chang Wook :"> Dan beneran deh, akting Ji Chang Wook mengesankan sekali, aku aja masih belum bisa move on sampai sekarang sama senyumnya yang nyebelin huhu. Apalagi lawan main Ji Chang Wook si imut-imut Park Min Young, lengkap sudah!
p.s: how I love the way he look at her ^^
Lalu mengapa aku memasukkan Ji Chang Wook dalam #PelajaranTiga untuk berbahagia? Intinya bukan di Ji Chang Wook sih, tapi disini.... aku pernah membaca sebuah kalimat tumblr "Stay close to anything that makes you glad you are alive". Sebab sekarang ini, menonton drama korea dapat membuatku bahagia. Entah kenapa mood aku cepat naik kalau nonton, iya nonton apa aja. Kecuali nontonin kamu dengan pacar barumu :))
Rencana ingin mencoba mengetuk dan masuk, namun tak jadi karna didepan pintu rumah mu terlalu banyak sepatu perempuan. Aku terlalu sibuk hari ini, sehingga tak punya kesempatan banyak untuk berebut waktu perhatianmu dengan perempuan lain. Dan dilain kesempatan pun aku tetap tidak punya waktu jikalau sepatu perempuan-perempuan itu masih tergeletak ditempat yang sama.
Kini genap sebulan semenjak terakhir kali aku melihat mu diperempatan gang sambil menggandeng seorang perempuan berambut panjang. Ketika itu kau pura-pura tidak mengenalku yang tak sengaja melintas didepanmu, kugenggam pegangan plastik hitam kuat-kuat membenamkan semua perasaanku. Ku lirik pelan-pelan kearah mu, tidak tahu sedang mencari apa. Terlihat kau sibuk tertawa memainkan helaian rambut perempuan itu, bahkan untuk sekedar curi senyum kepadaku saja kau tak ingin. Hingga akhirnya si perempuan menoleh kearahku, merasa terganggu dengan kehadiran ku. Kau masih juga tak bergeming, tetap berpegangan pada lakonmu; berpura-pura tidak mengenalku. Lalu tanpa aba-aba seketika kau lontarkan kalimat menyakitkan menusuk lobus hatiku, berkata tentangku sambil tertawa demi menyenangkan perempuan berambut panjang. Seketika itu ku putuskan untuk membencimu. Karakter yang sedang kau lakonkan membuatku benci.
Lain Waktu - Abenk Alter
Kau meragu
Saat aku memintamu tuk bersamaku
Aku tau kamu tak sendiri
Ada dia yang disana menunggu dirimu juga
Namun bila aku bukan pilihanmu dinda
Bukan aku tak mengapa bila kau pergi
Namun kupercaya kan ada saatnya di lain waktu
Bila engkau untukku kita kan bertemu
Cobalah dengarlah hati kecilmu bicara
Namun bila aku bukan pilihanmu dinda
Cinta memang tak selalu memiliki
Cinta memang tak selalu memiliki
Mencoba tuk terima
In
Kutipan,
In
FIKSI,
Begitu kasarnya sampai aku lupa pernah memelukmu dari belakang, dulu.
Janganlah kuatir akan hidupmu, akan apa yang hendak kamu makan atau minum, dan janganlah kuatir pula akan tubuhmu, akan apa yang hendak kamu pakai. Pandanglah burung-burung di langit, yang tidak menabur dan tidak menuai dan tidak mengumpulkan bekal dalam lumbung, namun diberi makan oleh Bapamu yang di sorga. Perhatikanlah bunga bakung di ladang, yang tumbuh tanpa bekerja dan tanpa memintal, bahkan Salomo dalam segala kemegahannya pun tidak berpakaian seindah salah satu dari bunga itu. Sebab itu janganlah kamu kuatir akan hari besok, karena hari besok mempunyai kesusahannya sendiri. Kesusahan sehari cukuplah untuk sehari.
ps: Suka banget dengan bunga krisan. Foto ini diambil tadi siang di salah satu toko bunga sekitaran Pasar Pringgan.
Sebab tipe-tipe manusia didunia ini beragam. Ada yang suka mencari-cari masalah, ada yang tak lelah mencari seribu alasan agar tidak disalahkan, ada juga yang lebih baik memilih untuk menghindari masalah.
Tapi yang paling menyebalkan dari ketiga orang itu adalah tipe orang yang kedua. Mau semalam suntuk juga dijelasin, ga bakal masuk ke otaknya. Soalnya dia merasa yang paling benar. Ga akan berhenti sebelum lawan debatnya mengaku menyerah dan mengatakan bahwa dia yang paling benar. Gemes, apalagi kalau pelakunya adalah mahluk penghasil sperma. Bye.
posted from Bloggeroid
"Sebab sesungguhnya masa depan sungguh ada, dan harapan mu tidak akan hilang."
Amsal 23 : 18Hari ini adalah hari terakhir aku menjalani hidup sebagai mahasiswa di kampus. Ujian blok terakhir tadi berjalan mulus tanpa selulit. Lempang aja rasanya. Setelah ini bakal masuk ke kehidupan yang baru lagi, sebagai dokter muda selama 1,5 - 2 tahun kedepan. Sebenarnya sampai sekarang aku masih belum yakin sih bakal wisuda lalu menyandang gelar yang baru. Rasanya baru kemaren sibuk-sibuknya SNMPTN, sibuk-sibuknya jadi mahasiswa baru, capek-capeknya ngerjain jurnal dan menghapal sobotta. Waktu 3,5 tahun bukanlah waktu yang singkat. Euforia jadi mahasiswa kedokteran hanya dirasakan seminggu diawal tahun ajaran, masuk ke minggu kedua mulai deh menyesali hidup dan pilihan. Tapi semakin kesini semakin tau dan sadar tugas ku sebagai mahasiswa, mulai memahami dan memandang semuanya lebih luas.
Banyak cerita. Mulai dari nasibku yang sedari SD sampai sekarang tetap aja masuk hitungan absen nomor 10 dari atas. Selalu aja kedapatan duduk dibangku depan pas ujian, udah kebal pokoknya. Udah ga greget lagi. Tutorial di ruang pertama, skill lab juga diruang pertama, OSCE digelombang pertama. Mudahan-mudahan nanti jadi orang yang pertama juga pas masuk surga hahaha amin. Memang tak terpungkiri masa-masa kuliah itu adalah masa-masa yang berat tapi bakal bikin kangen.
Desember 2011 : Mau ujian lab tapi nyempetin foto-foto padahal otak mau pecah
Agustus 2012 : Pratikum Laboratorium Fisiologi
Oktober 2013 : Penyuluhan cara menyikat gigi dan mencuci tangan dengan benar pada adek-adek SD di Porsea Sumut
Januari 2014 : Children Trauma Healing Gunung Sinabung bersama Tim Bantuan Medis FK UMI
Oktober 2014 : Pelatihan Dokter Remaja di SMP Methodist - 1 Medan
Februari 2015 : Foto bareng keluarga ruang tutorial 301 angkatan 2011
Aku tahu, perjuangan enggak sampai disini doang. Masih masih dan masih panjang perjalanan ku. Masih terus dan terus banyak membaca dan belajar lebih banyak lagi. Yah setidaknya one step closer menuju tujuan sebenarnya.
In
s o n g s,
I've practiced this for hours, gone round and round
And now I think that I've got it all down
And as I say it louder, I love how it sounds
Cause I'm not taking easy way out
Not wrappin' this is ribbons
Shouldn't have to give a reason why
It's no surpise, I won't be here tomorrow
I can't believe that I stayed till today
You and I will be a tough act to follow
But I know in time we'll find this was no surprise
It came out like a river, once I let it out
When I thought that I wouldn't know how
Held onto it forever, just pushing it down
It felt so good to let go of it now
There's nothing here in this soul left to save
Don't be surprised when we hate this tomorrow
God knows we tried to find an easier way
If I could see the future and how this plays out
I bet it's better than where we now
But after going through this
It's easier to see the reason why
No Surprise - Daughtry
Sebelumnya aku berdebat dengan hati sendiri, harus memposting tulisan ini atau tidak. Jujur rasanya sedikit memalukan jika aku masih saja menuliskan tentangmu, bahkan aku sendiri tidak bisa memaafkan jari-jari ini bergerak spontanitas diatas keyboard hanya untuk menceritakan tentangmu lagi. Kalimat ini sudah cukup lama di draft, bahkan sudah bersarang laba-laba karna disimpan terlalu lama. Aku menulisnya beberapa tahun yang lalu, iya tepatnya setelah menemukan mu membuang muka ketika melihat ku. Bahkan setelah kucoba untuk menyingkirkan kelabu di wajah mu, senyum itu masih juga kau sembunyikan dengan rapi dariku. Kau terlihat seperti seseorang... atau mungkin kita terlihat seperti dua orang yang tak saling mengenal dan tidak pernah menjalin sebait cerita indah dibelakang. Itu topengmu sajakah atau memang itulah jati dirimu sebenarnya? Itu pertanyaanku,
Akhirnya setelah sekian lama aku mulai mengerti, bahwa ada beberapa hal yang memang tidak bisa dipaksakan. Hingga kemarin aku memang terlalu memaksakan bahagiaku yang bukan menjadi bahagia mu. Terlalu menuntut untuk hal-hal yang sebenarnya aku sudah tau ujungnya seperti apa. Yakinlah suatu hari nanti akan tiba masanya kita saling tersenyum satu sama lain tanpa perasaan apa-apa. Akan tiba waktu dimana aku tersenyum kepada mu dan mengucapkan terimakasih untuk pelajaran berharga ini. Sebab tanpa melepas tangan mu mungkin aku tidak akan bertemu seseorang yang baru dan lebih baik untuk diriku nanti.
Dan kamu, terimakasih. Aku berjanji akan berhenti disini. Berhenti untuk mengutip remah-remah langkah mu, berhenti untuk mendoakan mu, berhenti untuk mengutuki bahagia mu. Segala yang lalu anggap saja sebuah dongeng pengantar tidur, agar ku terbangun dengan senyum dipagi hari.
In
Dear Jake,
Seperti patah-patah hati sebelumnya, biarlah lukanya mengering diselimuti waktu. Nantikan sembuh juga. Pada akhirnya.
posted from Bloggeroid