Tere menjejakkan kakinya kuat-kuat di tanah yang basah. Berkas tanah kini tercap di kaki yang tak beralaskan itu. Tere sama sekali tidak peduli, inginnya kali ini adalah berjalan terus dan terus sampai tidak ada satupun manusia yang mengenalnya ataupun mengenal Gilang – kekasih yang telah mengkhianatinya dengan kejam. Kekasih yang selama ini sangat disayanginya, kekasih pertamanya. Hatinya hancur seketika saat mengetahui kenyataan itu, sangat tiba-tiba sehingga Tere belum sempat untuk melakukan pembentengan pada hati. Gadis itu belum melakukan persiapan sedikit pun. Bahkan untuk berpikiran seperti ini saja Tere tidak pernah, karna menurutnya Gilang sangat mencintainya dan tak akan memalingkan pandangan darinya. Tere begitu sangat yakin, terlalu percaya diri lebih tepatnya. Sekarang apa? Yang didapatnya hanya penghinaan dan pengkhianatan. Dia tak menyangka, sungguh kejam.
“Cih! Brengsek!” pikirannya berkecamuk.
Tere sama sekali tidak menangis. Tapi perasaannya ingin meledak. Sebenarnya sempat beberapa kali dia hampir meneteskan air mata, namun egonya mengatakan jangan. Paling tidak sampai dia tiba di rumah. Orang-orang dijalan pasti akan bertanya-tanya jika dia menangis lebay-ala-baru-putus di jalan seperti ini. Maka dari itu dia berusaha untuk menahan air matanya. Sepanjang jalan dia menunduk, menatap kaki-kakinya yang dipenuhi berkas tanah basah. Hujan memang baru saja berhenti. Dia sedikit terkejut saat Gilang menahannya pergi saat hujan deras tadi, Gilang memang tetaplah Gilang. Setelah tega melakukan kejahatan dengan santainya lelaki itu mengatakan kepedulian. Dasar brengsek! Dalam hati Tere mengumpat lagi.
Tere sama sekali tidak menangis. Tapi perasaannya ingin meledak. Sebenarnya sempat beberapa kali dia hampir meneteskan air mata, namun egonya mengatakan jangan. Paling tidak sampai dia tiba di rumah. Orang-orang dijalan pasti akan bertanya-tanya jika dia menangis lebay-ala-baru-putus di jalan seperti ini. Maka dari itu dia berusaha untuk menahan air matanya. Sepanjang jalan dia menunduk, menatap kaki-kakinya yang dipenuhi berkas tanah basah. Hujan memang baru saja berhenti. Dia sedikit terkejut saat Gilang menahannya pergi saat hujan deras tadi, Gilang memang tetaplah Gilang. Setelah tega melakukan kejahatan dengan santainya lelaki itu mengatakan kepedulian. Dasar brengsek! Dalam hati Tere mengumpat lagi.
Tere terus berjalan. Melewati toko-toko penjual kembang api dan petasan. Rumah makan memang jarang ditemukan buka pada hari raya lebaran seperti ini. Kebanyakan tutup dan memasang plang pengumuman didepan toko mereka. Dia sangat yakin berpuluh-puluh pasang mata melirik kearahnya, memperhatikan tingkahnya yang seperti orang tidak waras. Rambut acak-acakan dan muka kusam tanpa alas kaki pula lagi. Baju putihnya juga terlihat sangat kumal sebanding dengan wajahnya, Tere memang sempat tergelincir di jalan menurun dekat jembatan tadi. Dia tak meringis, dia tak merasa kesakitan sedikitpun. Rasa dihatinya jauh lebih perih teriris dibanding lecet-lecet kecil pada siku dan lututnya. Ini semua karna Gilang, iya karna dia! Lagi-lagi amarah gadis itu berkobar.
Sebuah mobil bercat putih tiba-tiba berhenti didepannya. Tere mengangkat wajah, silau matahari sore tepat masuk ke retinanya membuat gadis itu menyipitkan mata. Seseorang berkemeja biru keluar dari mobil putih itu, lalu berjalan cepat kearahnya. Dia memang tidak dapat melihat jelas orang tersebut, namun dia hapal senyum kecilnya.
“Tere, darimana saja. Semua orang mencarimu. Mari kita pulang.” ujar lelaki itu dengan nada membujuk.
“Tere, darimana saja. Semua orang mencarimu. Mari kita pulang.” ujar lelaki itu dengan nada membujuk.
“Dewa, bukankah sudah ku bilang aku tidak ingin lagi bertemu dengan Gilang? Dia jahat, dia pengkhianat!” Gilang sudah dapat menduga, akan terdengar nada penolakan.
“Sudahlah. Aku akan melarangnya menemuimu. Kita tidak akan bertemu dengannya.” Sorot mata teduh Dewa menenangkan kegusaran Tere. Dengan cepat dia meraih tangan Dewa lalu bersama-sama masuk ke mobil putih itu. “Sekarang tidurlah dipundakku, aku tahu kau sudah sangat lelah berjalan seharian.”
Tere mengangguk menurut. Dia meletakkan kepalanya yang lelah di bahu kecil kepunyaan Dewa. Seketika beban berat yang ada dikepalanya kini pindah ke Dewa, lelaki itu tersenyum saja
“Jadi setiap hari raya lebaran seperti ini, dia berjalan dari Tanjung Sari ke Amplas? Gila, jaraknya ada hampir 21 kilo.” Anton membuka suara setelah dipastikan Tere benar-benar terlelap.
“Ya begitulah. Dia dan calon suaminya berpisah pada hari lebaran lima tahun lalu tepat tiga puluh hari sebelum hari pernikahan mereka. Gilang selingkuh dengan adik kandungnya sendiri. Mungkin karna itu dia masih belum bisa menerima kenyataan sampai sekarang. Dua orang yang sangat disayanginya sepakat menghujam jantungnya. Bisakah kau bayangkan itu?”
Anton menggeleng kecil. Dewa pun diam. Mereka larut dalam pikiran mereka masing-masing. Kini kebisuan meliputi isi mobil itu, yang terdengar hanya suara mesin tua mobil dan suara knalpot yang berisik. Huruf-huruf bercatkan hitam tercetak sisi kanan kiri mobil - Rumah Sakit Jiwa Citra Asri.