Kalian tau rasanya nangis diatas motor?
Disisi lain otak
bekerja untuk fokus ngeliat jalan, disisi yang satu lagi mata terus-menerus
mengeluarkan air. Ribet, sudah pasti.
Seperti hari ini, saya merasa sangat takut. Takut kehilangan. Perasaan itu muncul
dipagi hari, ketika saya baru saja menginjakkan kaki di kampus. Ika, teman
sekelas saya mengatakan bahwa salah satu orang tua senior kami baru saja
meninggal, pendarahan diotak.
Saya kaget, padahal baru saja kemaren saya
melihat senior itu tertawa-tawa dikantin kampus. Dypsnea. Ketika
mendengar hal-hal seperti itu yang ada di pikiran saya hanya ‘Orangtua’.
Saya ingat mereka, mencoba membayangkan mereka sedang apa disana. Lalu
mengucapkan doa berkali-kali agar mereka baik-baik saja. Saya juga
memikirkan
adik-adik saya, dua orang di Pekanbaru dan satu orang lagi di Bandung.
Lalu
kembali lagi berdoa, mereka pasti tidak kekurangan satu apapun disana.
Dan yang
terakhir saya memikirkan mu, bang. Disela-sela kekhawatiran saya yang
seperti
ini pun, saya masih bisa memikirkanmu. Menerka sedang mata kuliah apa
yang kamu
masuki sekarang. Mendoa agar kamu selalu dijaga sama Tuhan.
Saya takut, kalau-kalau suatu saat saya kehilangan mereka.
Kehilangan orang-orang yang begitu saya sayangi. Saya masih membutuhkan kalian,
tidak mau kehilangan. Dan terkhusus buat kamu bang, saya tidak mau kehilangan
kamu untuk kedua kalinya.
Kekhawatiran, kegelisahan, dan rasa takut bercampur menjadi satu.
Ujung-ujungnya saya nangis diatas motor. Beruntung saat itu saya memakai
masker, sehingga orang-orang dijalan
tidak dapat mendapati air mata saya yang sudah mengalir cukup deras. Tapi sialnya, helm saya yang sengaja dibuat
berkaca bening ternyata enggak selamanya menguntungkan. Disaat-saat seperti ini
contohnya. Saya cuek saja. Lalu nangis sampai puas, tentu saja masih diatas
motor.
Sebenarnya sudah berkali-kali saya nangis diatas motor. Bagi saya, motor adalah
tempat nangis paling aman, kemudian yang kedua adalah membenamkan kepala
dibantal kamar. Di motor, nangis gak perlu takut didengar orang. Suara bising
kendaraan mampu menelan semua teriakan tertahan mu.
Di motor, nangis gak perlu
sesak napas seperti membenamkan kepala ke bantal. Air matamu juga cepat
mengering akibat angin jalan. Banyak sekali keuntungannya.
Saya ingat, pernah suatu kali saya nangis diatas motor, tangisan pertama saya.
Saat itu saya masih di kota Pekanbaru. Perjalanan dari Ahmad Yani sampai
kerumah saya isi dengan nangis. Saya teriak sekencang-kencangnya dijalanan
tanpa perlu khawatir ada yang liat. Diatas motor saya juga sering mendapatkan
ide-ide menulis. Kalau saja bisa mengendarai motor sambil megang laptop,
mungkin sudah banyak tulisan yang saya buat.
Sumber Gambar : Koleksi Pribadi
Tapi seberapa banyak pun keuntungan nangis diatas motor tetap saja lebih nyaman
nangis sambil meluk orang lain. Karna nangis itu ngabisin tenaga. Butuh ada
yang nyangga saat saya sudah kehabisan
tenaga karna nangis. Mungkin beberapa tahun kedepan, nangis dapat dimasukkan
dalam program diet.
Mudah-mudahan setelah ini saya tidak mudah nangis lagi ya. Tidak mudah
khawatir, dan selalu percaya bahwa Tuhan selalu jaga orang-orang yang saya
sayangi. Nangis itu salah satu proses penyelesaian masalah, hem maybe..
Puji Tuhan,
nulis tulisan ini gak sambil nangis :)
nulis tulisan ini gak sambil nangis :)