In
FIKSI,
Mada Mulawarman
"Maaf, aku merindukan mu."
Namanya Mada.
Pesan singkat itu dikirim olehnya, setengah jam yang lalu. Empat kata yang tertulis dilayar handphone ku saat ini adalah kata-kata pertama yang dia ucapkan setelah dua tahun tanpa kabar berita. Tanpa sapa, pun juga tawa. Dia hilang, seperti ditelan pusat bumi.
Namanya Mada Mulawarman.
Umurnya 26 tahun pada tanggal 13 Agustus, seminggu lagi dari hari ini. Zodiaknya Leo, Shionya Ular. Lahir di hari Minggu, sama sepertiku. Ibunya adalah seorang penggemar sejati kisah sejarah kerajaan hindu-budha. Sehingga namanya pun diadaptasi nama-nama tokoh pada zaman itu, Mada dan Mulawarman.
Pada tanggal 6 Juli sekitar 5 tahun yang lalu kami tidak sengaja bertemu. Pertemuan yang semula ku pikir hanya ada di novel-novel teenlit favoritku. Saat itu seorang sahabat terbaik ku merayakan hari kelulusannya, namanya Firman. Yang ku ingat, di tanggal 6 Juli itu cuaca sangat panas. Begitu banyak manusia menggunakan toga, sehingga sangat sulit menemukan Firman. Hingga akhirnya aku menemukan dua orang laki-laki tinggi berdiri dengan toganya disalah satu papan bunga untuk berfoto. Dia adalah Firman dan tentu saja Mada. Aku mencintainya di detik pertama, aku jatuh pada senyumnya di pandangan pertama. Sampai sekarang takkan ku ingkari hal itu, pun juga pada Firman.
Namanya Mada.
Dia berkata mencintaiku setelah enam bulan kami berkenalan. Dia memegang tanganku, menghela napas panjang dan berkata pelan bahwa takkan melepaskan ku. Mada tidak menunggu jawaban ku, yang dilakukannya hanya mencium keningku lama. Sejenak aku percaya bahwa Madalah yang aku cari selama ini.
Dialah Mada, seorang laki-laki sarjana Tehnik Arsitektur dengan Indeks Prestasi 3,87. Laki-laki yang mencuri hatiku di detik pertama. Laki-laki penyuka kwetiaw goreng di Warung Kak Yuli dan tak pernah memesan minum selain air mineral dalam kemasan. Laki-laki yang pernah memelukku saat hujan deras. Seseorang yang namanya tersemat di prakarta proposal skripsiku. Serta yang tangannya ku gandeng di hari kelulusan ku. Yang menyanyikan lagu dengan gitarnya di ulang tahun ke-dua-puluh-ku. Dia adalah Mada, Mada-nya Karaa.
"Karaa sayang, bisakah membantu ku memasang dasi? Kenapa sulit sekali membuatnya terlihat rapi seperti yang kamu lakukan." Suara berat membuyarkan semua lamunan ku. Aku meletakkan handphone cepat-cepat ke tempat tidur, lalu menoleh kearah sumber suara.
"Nanti pulang jam berapa kamu, Mas?" tanyaku selagi memasangkan dasi polos biru dongker ke lehernya. "Nanti sore kita ada acara di rumah Eyang Putri, ingat kan?"
"Ehm, iya. Ingat. Jam 7 kan? Dan jangan lupa membeli beberapa buah dan kue untuk Eyang. Iya kan, sayang?"
"Awas kalau sampai lupa." ancamku sambil mencubit pinggangnya pelan. Laki-laki itu hanya tertawa lalu secepat kilat mencium keningku. "Mas.." aku memanggilnya pelan sesaat dia akan melangkah keluar.
"Iya, Karaa?"
"Aku mencintaimu."
"I know." ujarnya tersenyum, menenangkan.
Namanya Firman.