In
cerpen,
FIKSI
Tertangkap
Setelah jam menunjukkan angka tujuh malam, aku pasti ketakutan. Suara-suara aneh dari lantai bawah rumahku selalu terdengar di jam tujuh malam. Suara berisik yang sampai sekarang tidak ku tahu bersumber dari mana. Anehnya, suara-suara itu akan hilang ketika jarum jam sudah menunjuk angka sepuluh lewat lima belas menit. Hanya sekitar tiga jam lima belas menit saja, tapi begitu sangat membuatku takut.
Namaku Sawi. Aku tidak tahu kenapa orangtua ku memberikan nama sayuran kepadaku. Mungkin karna aku suka sayur sawi atau orangtua ku yang suka. Aku tidak pernah bisa menanyakannya langsung, sebab tidak pernah bertemu langsung dengan mereka. Entah mereka sudah meninggal ataupun belum aku juga tidak tahu. Para tetangga mengatakan bahwa mereka sedang bepergian, sehingga meninggalkan ku dirumah sebesar ini tanpa seorang pun yang menemani. Itupun aku tahu namaku sendiri dari nenek tua yang tinggal di ujung belokan gang. Sawi, panggilnya waktu itu.
Awalnya aku tidak terlalu suka dengan namaku, namun lama kelamaan aku mulai menyukainya. Menurutku nama ini adalah sebuah ciri khas, karna cuma aku satu-satunya yang mempunyai nama Sawi. Lagipula, Sawi tidaklah sayur yang buruk. Walaupun rasanya sedikit pahit, tapi manfaat yang diciptakan Sawi cukup banyak. Begitulah kira-kira aku menafsirkan kepribadianku, seperti sayur sawi.
Suara berisik dari lantai bawah semakin kuat, seolah menyuruhku turun untuk melihat dan menemukan sendiri jawabannya. Selama ini aku memang selalu bertanya-tanya, ada apa di lantai bawah. Kegaduhan itu ku dengar selama hampir dua tahun, dan selama itu juga aku tidak punya keberanian untuk mencari tahu apa yang terjadi. Kini suara-suara tersebut membuatku tak tahan lagi. Aku harus tahu apa itu dan mengapa suara tersebut menggangguku. Walaupun hanya terdengar sekitar tiga jam lima belas menit, itu sungguh sangat mengganggu.
Pelan-pelan ku jejakkan kaki menuruni tangga-tangga kayu, sedikit berjingkat pelan agar tidak menimbulkan suara. Aku tidak ingin suara-suara di lantai bawah menyadari ada suara lain selain suara mereka. Lampu lantai bawah terang benderang, padahal sebelumnya ruang itu sudah ku pastikan gelap setiap jam enam sore. Dan sekarang terang, juga berisik. Memang ada yang tidak beres, pikirku. Mungkinkah maling yang ingin merampok rumah ini? Kalaupun iya, dasar maling bodoh. Rumah ini tidaklah menyimpan harta berharga, hanya aku dengan beberapa perabot serta bingkai-bingkai tergantung di dinding. Pun jika ingin menculikku dan meminta uang tebusan, hanya sia-sia saja. Aku tidak memiliki keluarga kaya yang akan memberikan uang mereka untuk menukarnya dengan keselamatanku. Hari ini, sekarang, aku akan menemukan jawaban atas gulungan pertanyaan yang ku simpan selama dua tahun. Aku pasti tahu apa yang terjadi, dan segera menangkap si sumber suara.
Aku melompat kecil melewati sebuah tangga yang sudah rusak. Rumah besar ini memang sudah tua. Terdapat kayu rusak dan lantai bolong disana-sini. Jika tidak berhati-hati, bisa-bisa aku jatuh dan akan sulit untuk keluar dari lubang-lubang gelap itu. Kini suara mulai terdengar dekat, itu artinya langkahku tidak jauh lagi. Sorot lampu menyilaukan mata, membutakan pandanganku. Sejujurnya aku tidak terlalu suka dengan terang. Aku lebih nyaman berdiam ditempat remang, menyembunyikan kulit hitam ku dari pandangan orang-orang.
Aku mengerjap kelopak mata beberapa kali untuk mengembalikan penglihatanku. Terlihat seorang nenek tua ujung belokan gang sedang berbicara dengan seorang anak kecil. Aku tak dapat mendengar pembicaraan mereka dengan jelas, namun beberapa kata dapat ku tangkap.
"Panen lagi, Nek? Dapat berapa kita hari ini?" tanya anak kecil itu. Ku pikir umurnya sekitar delapan tahunan.
"Iya, cu. Besok bantu nenek jualan dipasar ya." Si nenek ujung belokan gang tersenyum sambil membelai kepala anak kecil itu.
"Pokoknya kali ini kita jangan kecolongan si Sawi lagi, Nek. Dia pencuri!"
Aku tercekat. Mengapa mereka menyebut namaku? Ada apa? Seharusnya yang disebut pencuri itu mereka, masuk rumah orang tanpa izin, geram ku kesal. Ternyata hentakan dan geraman kesalku terlalu mencolok sehingga membuat nenek dan anak kecil menoleh kearah ku. Huh, biar saja mereka tahu aku disini, mereka berdua akan ku tangkap dan ku serahkan pada satpam komplek, geram ku lagi.
Tak ku sangka, si anak berlari kearah pintu dan mengambil sebuah sapu panjang. Menggenggam kuat lalu mengacungkannya dengan berani kepadaku.
"Sawi! Mau berapa kilo lagi kau curi sayur sawi kami. Kesini kau, sialan." teriak anak itu kepadaku.
Seketika keberanianku luntur oleh teriakan anak itu. Sedari awal, memang ada yang tidak beres disini. Seharusnya aku tidak turun kebawah. Seharusnya aku tinggal saja diatas, menunggu sampai jam sepuluh lewat lima belas menit, menghindari sorotan lampu dan berusaha untuk tidak ingin tahu segala hal.
"Sawi, tikus pencuri sayur sawi! Kemari kau." teriak anak itu lagi.