Halo, bang. Ini hampir memasuki tahun kedua setelah pertemuan kita waktu itu. Sudah hampir dua tahun aku tak melihat mu, namun detail bayangan mu tetap saja tak lekang dari ingatan.
Aku rindu kau, bang. Rindu sekali, ku katakan lagi.
Lalu kalau aku rindu kenapa? Memangnya dengan mengatakan rindu pada mu, kau akan berubah pikiran dalam satu detik? Memangnya kau akan mengatakan rindu juga kepadaku? Dan memangnya kau akan merespon ku? Aku selalu tahu jawaban atas semua pertanyaan itu; tidak. Maka dari itu ku katakan semuanya disini. Kali saja sewaktu-waktu kau mampir kesini, membacanya. Suatu saat nanti kau akan mengerti bang, kenapa aku memilih untuk tidak mengatakan semuanya langsung kepada mu. Karna hal terburuk dari rindu bukanlah saat kau tidak bisa mengatakannya secara langsung, namun saat orang yang kau rindukan ternyata tidak merindukan mu balik. Maka dari itu aku memilih untuk tidak mengatakannya, terkadang hal-hal seperti ini perlu dilakukan untuk melindungi hati sendiri dari benturan.
Kurus, jangkung! Mata mu yang cenderung sipit dan gigi-gigi taring mu adalah siluet yang tak pernah absen dalam ingatan ku. Apalagi senyum mu, ih aku sangat hapal itu. Senyum yang menyebalkan, namun lembut diakhirnya. Seakan pamer, karna kau tahu benar kalau semua wanita suka senyum mu itu. Tawa yang ditahan, namun bisa tiba-tiba meledak tanpa pemberitahuan sebelumnya. Sangat disayangkan, liburan tahun lalu kita tidak bertemu, aku tidak bisa menyapa mu. Beberapa kali aku sempat mampir di kota mu, merasakan semilir angin dingin yang mempermainkan anak-anak rambutku, berjalan-jalan ke daerah yang pernah kau jalani- dekat kampus mu.
Kau masih ingat? Dulu sekali, aku sering memperhatikan mu, saat masih berseragam putih-biru. Mataku mengikuti langkah-langkah kaki kecil mu yang menuruni tangga didepan kelas ku. Telinga ku berusaha menangkap setiap nada yang keluar dari mulut mu. Tangan ku ingin sekali menjabat tangan mu, mengajak mu berkenalan. Namun hatiku, berkata jangan. Otak ku menyadarkan, bahwa memperhatikan mu dari jauh saja sudah membuat ku cukup bahagia. Ini sudah cukup.
Namun ternyata, hal yang ku kira cukup waktu itu menjadi tidak cukup seiring berjalannya waktu. Perlahan-lahan aku benar-benar ingin mengenal mu. Mendengar mu mengucapkan nama, sehingga aku tak perlu repot-repot membaca nama yang terjahit di seragam SMP mu. Namun lagi-lagi, hatiku berkata jangan. Lalu tiba-tiba kau menghilang, entah kemana. Aku kecarian dan melakukan segala cara untuk menemukan keberadaan mu. Tidak ada lagi si pemilik senyum menyebalkan yang menuruni tangga didepan kelas ku, tidak ku temukan lagi sinar mata tajam seperti kepunyaan mu. Kau benar-benar menghilang, sebelum aku sempat memperkenalkan nama ku.
Lima tahun berlalu bang, kita bertemu lagi. Pertemuan yang diawali dengan komenan mu di sebuah status facebook ku. Saat itu persis ketika kedatangan mu untuk kedua kalinya, aku sedang patah hati. Semangat ku luntur karna seseorang bodoh yang tidak bertanggung jawab. Kau datang menawarkan seribu tawa dan sejuta senyuman. Kemudian kita saling mengenal, lebih dalam. Mulai melayangkan lelucon-lelucon bodoh, lalu tertawa bersama. Mulai berani menyampaikan pendapat, mulai bisa mengambil sikap. Mulai tersenyum sendiri, lalu tertawa lagi. Mulai kesal saat sinyal buruk, mulai marah saat batrai handphone low. Mulai bahagia saat layar handphone kedap-kedip, mulai membayangkan hal-hal manis. Mulai cocok dan mulai tersenyum lagi. Mulai nyaman bercerita. Mulai cemburu, panas saat kamu merespon wanita lain. Mulai berdoa lagi, berharap lagi. Mulai menyebutkan nama mu disetiap bait doa ku, mulai menulis tentang mu. Dan sejak saat itu aku benar-benar ingin memiliki mu, seutuhnya.
Tuhan mengabulkan doa ku. Kita berada pada pola yang sama. Aku bahagia, tersenyum sepanjang waktu. Berkali-kali mengucapkan syukur pada Tuhan. Betapa aku beruntung dapat mengaitkan jari-jari ku disela jari mu. Betapa aku sangat bangga menggandeng lengan mu sehingga mata mereka melirik iri. Aku bahagia, dan benar-benar merasa kalau Tuhan begitu sangat baik. Aku hanya meminta-Nya untuk membuat ku tersenyum, namun Dia mengirimkan mu untuk membuat ku tertawa.
Herannya, kamu tidak percaya dengan rasaku. Kau beranggapan bahwa si bodoh yang tidak bertanggung jawab itu masih memegang peranan penting pada denyut nadiku. Padahal itu jelas-jelas salah, bagaimana bisa aku mengabaikan mu yang jelas-jelas merupakan sumber tawa ku? Kamu itu satu dihatiku, bang. Tidak ada kata lain yang cukup menggantikan peranmu di memori ini.
Singkatnya, kita berpisah, mulai memilih jalan masing-masing. Perpisahan yang memang salah ku sepenuhnya, salah ku tidak bisa menahan kepergian mu. Salah ku tidak sanggup meminta kau untuk tetap disini. Lagi-lagi aku merasa bersalah. Tawa ku seketika lenyap, bahkan untuk tersenyum palsu pun aku merasa tak pantas.
Lalu apa yang terjadi setelah itu? Seperti biasa, aku menjalani hari ku. Tapi tentu saja kali ini ada yang berbeda, tanpa mu. Aku pikir aku bisa cepat mendapatkan penggantimu seperti ketika aku menemukan mu lagi.
Kini mencintai mu tidak semudah dulu lagi, bang. Aku harus mengungkapkannya perlahan, tersembunyi dan tanpa menyakiti orang lain. Kau tenang saja, aku tidak akan mengusik kehidupan mu. Aku tidak akan mengganggu mu. Bang, maafkan aku jika aku masih mengingat mu, masih ingin bercerita tentang mu, dan masih mengingat yang terjadi sewaktu kita bersama. Aku tahu ini semua salah, tapi menurut ku bercerita tentang mu bukanlah hal yang salah.
Bersemangatlah di kampus mu sekarang. Kau harus yakin bahwa segala hal yang kau tekuni sekarang ataupun yang sedang kau rencanakan, aku akan selalu mendukung mu, dalam doa.
Tiba-tiba, aku merindukan mu. Saat dimana aku masih bisa memperhatikan mu diam-diam, mengumpulkan jejas senyum dan derai tawa mu di lorong sekolah.
:)